kembali | untuk semuanya |
Edisi : Minggu, 27 April 2008 , Hal.VIII
rantaikata : http://www.solopos.net
Lalu kali ini aku lihat cahya sang surya dari mata seorang adam bagai purnama rupanya di pelupuk mata aku terbias cinta tak terbatas Pada waktu pun padanya aku berjanji untuk kembali bagai sakura berkembang di musim semi berteriak tanda kemenangan dari tidur lelapnya Tak kan kubiarkan lagi ia pergi - Zulfa Kamila R Y, Tegalsari RT 02/RW V, Laweyan, Solo. |
rantaikata : http://www.solopos.net
dirimu | untuk semuanya |
Edisi : Minggu, 27 April 2008 , Hal.VIII
Tak usah kau pikir kelammu
Bahagia kan datang menyongsongmu
Membawa berjuta cahaya
Mengikat beratus mimpi
Yang kau nanti tak kan pergi
Menunggu setia dirimu di sini
Yang kau nanti tetap di sini
Mengucap kata yang kau nanti
- Setyaningsih, SMA Negeri 1 Ngemplak, Boyolali.
rantaikata : http://www.solopos.net
Tak usah kau pikir kelammu
Bahagia kan datang menyongsongmu
Membawa berjuta cahaya
Mengikat beratus mimpi
Yang kau nanti tak kan pergi
Menunggu setia dirimu di sini
Yang kau nanti tetap di sini
Mengucap kata yang kau nanti
- Setyaningsih, SMA Negeri 1 Ngemplak, Boyolali.
rantaikata : http://www.solopos.net
ibu | untuk semuanya |
Edisi : Minggu, 20 April 2008 , Hal.VIII
Ibu, cintamu seperti air yang mengalir Di setiap jejak langkahku Aku, akan selalu mengingatmu Dan ku slalu memujamu Kau belahan jiwaku Kasih sayangmu kepada siwi Tak terhingga sepanjang waktu Ibu, trimalah seribu salamku - Febrina Ardiyati, VIII E, SMP Negeri 1 Delanggu, Jl Pabrik Karung, Delanggu, Klaten |
rantaikata : solopos
kosong | untuk semuanya |
Edisi : Minggu, 20 April 2008 , Hal.VIII
Dari waktu ke waktu Ku menunggu Kelak, adakah yang mengisi kekosongan ini Kasih yang slalu ku harap dan ku nanti Pasti akan datang Datang dengan sejuta pesona Tuk mengisi hatiku yang kosong Tuk memberi warna pada pelangi kehidupan Dan... Memberi sinar dalam kegelapan Kasih... Ku akan slalu menanti kedatanganmu - Ikha Ramadhani, IX A, SMP Negeri 1 Banyudono, Jl Kuwiran No 2, Boyolali 57373 |
rantaikata : solopos |
sajaksajak katimin atmo wiyono | untuk semuanya |
Edisi : Minggu, 13 April 2008 , Hal.V
City walk |
|
Bersama daun-daun kucium peluh kota yang berjatuhan bersama hujan di sepanjang pedestrian |
Kembali kupacu langkah membelah jantung kota
sembari menghafal nama-nama jalan
yang merongga di kaki gedung dan pertokoan
Adakah yang masih tertinggal dari masa lalu
terselip di celah batako merah kuning kelabu?
Tentu tak ada waktu untuk menunggu jawaban
sebab tidak ada perhentian
bagi pejalan kaki yang dimuliakan
untuk memarkir dan memeram nostalgia
Sebab kota ini terus berbenah untuk masa depan
dan senantiasa meninggalkan banyak lubang
untuk mengubur ingatan dan kenangan
Mesjid agung
Seperti gerombolan kelelawar
yang bersarang di kubah dan wuwungan
kita pun punya naluri untuk pulang
sekadar menyampirkan selembar doa
dan memuliakan asma Pencipta
meski hanya seminggu sekali
pada siang Jumat yang terberkahi
Seperti pengelana yang dirindu dan dicintai
kita pun disambut layaknya raja
oleh tangan-tangan terbuka peminta-minta
yang mengharap kristal gaib doa
dari kata menjadi harta
Di mesjid kita gelar kerendahan jiwa
bersila menerima wejangan
sembari mencuri-curi pandang
mengagumi sejarah yang terhampar megah
Selepas salat kita tiada beda
pedagang, pembeli, dan pendatang
sama melepas lelah
dengan sejenak rebah di serambi bermarmer
mewah
yang menenteramkan gelisah sukma
bagai pangkuan ibu yang tabah
*) Katimin Atmo Wiyono, lahir di Pacitan tanggal 18 Agustus 1952.
rantaikata : http://www.solopos.net
untuk mereka | untuk semuanya |
Edisi : Minggu, 13 April 2008 , Hal.VIII
rantaikata : http://www.solopos.net
|
Goresan pena yang telanjur mengalun sajak kiasan yang bernyanyi riang Angan nan menerawang penuh harap Dan buncahan cinta yang teramat bergelora Semua, untuk dan karena mereka |
Sahabat yang slalu ada... 5 tahun bersama dalam penjara suci, Asmara... Tertatih dalam belajar kedewasaan nan mulai menjelang atau saat tangis yang tumpah akibat rindu andai taulan di rumah Itu bersama mereka... Sobat, Di usia 17 kita yang segera tiba Bersama kemelut yang menyelimuti hari-hari kita Belenggu masalah...problem...fitnah... Atau... hanya salah mengerti saja Buat hati kita terikat benang cinta Benang cinta dari hati dalam iringan bahagia Tapi, sobat... Aku takut ikatan itu semakin erat... Aku takut, ikatan itu musnah Ikatan itu berujung tangis Di hari, perpisahan kita... Karena puisi ini tercipta Karena kalian tercipta Cinta itu tercipta Untuk, dari, dengan mereka...semua Yulia Anis Rahmawati, SMA Al Islam I Solo, Jl Honggowongso 84 |
sajaksajak wiyono | untuk semuanya |
Edisi : Minggu, 06 April 2008 , Hal.V
Pagi selalu ada bencana abadi
Malas yang tak ada henti
Tak ada siang dan sore hari
Mendung bergelayut mengusir hari
Sepanjang hari ini hanya ada pagi
Hari agaknya hampir sekarat dekat mati
Dosa-dosa belum terampuni
Ayah
umur sudah limapuluhan
Hitam rambut tlah jadi uban
bahkan rontok dan
kepala itu jidat melulu
tak lagi mampu baca koran
pandangnya gemeteran
lutut dan pinggang
sering dikeluhkan
sering lupa dan
kantuk di sembarang tempat
berharap selamat
tapi lupa salat hobi maksiat
‘mumpung masih hidup
padat sintal bau perawan
tinggal itu kesukaanku’ katamu
nyeri pinggang bukan halangan
Ah, ayah segera bertobatlah!
Parang, Januari 08
- *) Wiyono SPd, guru SMP Negeri 1 Paranggupito, Wonogiri.
rantaikata : http://www.solopos.net
Mendung sepanjang hari |
|
Pagi tanpa mentari Mendung bergelayut menutupi menolak hari Hari ini hanya ada pagi Para petani duduk melutut dekat api Merenung tanaman tak jadi padi Sepanjang hari ini hanya ada pagi Tak ada kesibukan mengisi hari Tak ada tangisan bayi Semua merenung apakah ini mimpi |
Pagi selalu ada bencana abadi
Malas yang tak ada henti
Tak ada siang dan sore hari
Mendung bergelayut mengusir hari
Sepanjang hari ini hanya ada pagi
Hari agaknya hampir sekarat dekat mati
Dosa-dosa belum terampuni
Ayah
umur sudah limapuluhan
Hitam rambut tlah jadi uban
bahkan rontok dan
kepala itu jidat melulu
tak lagi mampu baca koran
pandangnya gemeteran
lutut dan pinggang
sering dikeluhkan
sering lupa dan
kantuk di sembarang tempat
berharap selamat
tapi lupa salat hobi maksiat
‘mumpung masih hidup
padat sintal bau perawan
tinggal itu kesukaanku’ katamu
nyeri pinggang bukan halangan
Ah, ayah segera bertobatlah!
Parang, Januari 08
- *) Wiyono SPd, guru SMP Negeri 1 Paranggupito, Wonogiri.
rantaikata : http://www.solopos.net
seperti apa dunia | untuk semuanya |
Edisi : Minggu, 06 April 2008 , Hal.VIII
|
Aku seperti terhempas oleh keadaan Dan aku seolah terkunci oleh waktu Yang membuat seketika saraf anganku terkunci Yang merampas segala angan indahku |
Kenapa... Dunia hanya sebatas ajang kederajatan Sebagai ajang pembantaian harga diri Serta sebagai ajang kesalahan Dan kenapa... Semua seperti pegadaian dan tontonan Di mana rasa mereka saat ini Dan di mana mata dan otak cerdasnya Kali ini aku seperti tergadaikan Oleh pujian dan sanjungan mereka Dan aku bagaikan tontonan Yang menjual kepalsuan jati diri Apakah seperti ini dunia Yang membuat semua berubah buas Kehidupan, harta dan pasangan Menjadi syarat untuk hidup bebas Apa seperti itu orang dihargai Bukankah semua telah diatur Tapi kenapa itu menjadi masalah Dan menjadi tingkat harga diri - Nuri Widyaningsih, Keperawatan S1(A) UMS rantaikata : http://www.solopos.net |
sajaksajak sunarto hidayat | untuk semuanya |
Edisi : Minggu, 30 Maret 2008 , Hal.V
Catatan perjalanan dari bukit selatan I Bukit-bukit selatan hutan jati jadi ladang ilalang lembah jurang menganga gamang jalan berliku panjang dusun-dusun sunyi dari Kertasari hingga Bandungsari melintasi sungai kecil Cigora kita bertanya batu kerikil pasir pada bercanda ke mana dulu menggelincir air membangun kidung gunung hingga ke hilir. |
Itu mereka, truk-truk pengangkut di bawah matahari cemberut melintasi di atas jalan setapak aspal, deru dan debu tertinggal kayu jati batu kerikil pasir diajak pergi dan perawan-perawan legam melambaikan tangannya selamat jalan wahai para kekasih dari kota jangan lupa kembali ke desa membawa boneka cinta. II Malam pun turun di Blandongan desa kecil makin terpencil pemuda-pemuda remaja pada menggigil tadi senja tak terduga, tiga orang dibawa ke kota lantaran dituduh mencuri harta milik negara pohon-pohon jati yang tumbuh di bumi sendiri air terus mengalir dari bukit-bukit menjadi santapan pagi oh, betapa hangatnya udara tanah tercinta! Tadi pagi pemuda-pemuda pada tertawa pesta bulan tebang hutan hingga derainya melimpah ke puncak Gunung Canggah dara-dara menginjak dewasa buru-buru menggincu bibirnya jiwa-jiwa yang berbunga bakal menerima boneka cinta tapi yang dinanti tak juga kembali di muka kaca di muka jendela harum bau setanggi malam pun sunyi. Betapa sunyi. Ketanggungan, 2007 by : Sunarto Hidayat |
rantaikata : http://www.solopos.net
sajaksajak epi paryani | untuk semuanya |
Edisi : Minggu, 23 Maret 2008 , Hal.V
Kini dengarlah bisik tanah
tentang silsilah darah yang tumpah
di masa lampau
Dengarlah desah lumut yang menghitam
tentang cagar budaya yang poranda
digerus tangan-tangan zaman
Dengarlah gemerisik belukar menjalar
tentang betapa sakitnya diabaikan dan dilupakan
Dia kini gamang menatap masa depan
Dia hanya reruntuhan remang di belakang bank
Hanya sosok menyeramkan
di bawah hujan malam
Dia hanya puing yang gemetar
di tengah laju peradaban kota
Dia goyah
seperti seonggok sejarah yang enggan punah
Februari, 2008
Paragon
Aku membayangkan mercusuar menjulang
yang mendekatkanku pada langit
hingga terbaca rajah di wajah rembulan
hingga dapat kukait mimpi
di punggung bintang-bintang
Aku membayangkan kilau gemintang
Aku membayangkan uang atau emas batangan
yang ditebarkan si kaya dari udara
dan kaum papa memungutinya dengan gembira
Tapi mungkin hanya akan kulihat lebat hujan
dan gumpalan kecemasan yang menebal
pada wajah-wajah lelah di dataran rendah
dan sepanjang bantaran bengawan
yang menganggap banjir sebagai kutukan
Aku membayangkan ketimpangan
Februari, 2008
- *) Epi Paryani, dilahirkan di Sukoharjo pada 21 Januari 1983, alumnus Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS, Program Studi Sastra Indonesia.
rantaikata : http://www.solopos.net
Vastenburg Pesta singkat itu telah usai Alunan musik sudah dipendam di gendang telinga |
Kini dengarlah bisik tanah
tentang silsilah darah yang tumpah
di masa lampau
Dengarlah desah lumut yang menghitam
tentang cagar budaya yang poranda
digerus tangan-tangan zaman
Dengarlah gemerisik belukar menjalar
tentang betapa sakitnya diabaikan dan dilupakan
Dia kini gamang menatap masa depan
Dia hanya reruntuhan remang di belakang bank
Hanya sosok menyeramkan
di bawah hujan malam
Dia hanya puing yang gemetar
di tengah laju peradaban kota
Dia goyah
seperti seonggok sejarah yang enggan punah
Februari, 2008
Paragon
Aku membayangkan mercusuar menjulang
yang mendekatkanku pada langit
hingga terbaca rajah di wajah rembulan
hingga dapat kukait mimpi
di punggung bintang-bintang
Aku membayangkan kilau gemintang
Aku membayangkan uang atau emas batangan
yang ditebarkan si kaya dari udara
dan kaum papa memungutinya dengan gembira
Tapi mungkin hanya akan kulihat lebat hujan
dan gumpalan kecemasan yang menebal
pada wajah-wajah lelah di dataran rendah
dan sepanjang bantaran bengawan
yang menganggap banjir sebagai kutukan
Aku membayangkan ketimpangan
Februari, 2008
- *) Epi Paryani, dilahirkan di Sukoharjo pada 21 Januari 1983, alumnus Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS, Program Studi Sastra Indonesia.
rantaikata : http://www.solopos.net
kebingungan yang terpendam | untuk semuanya |
Edisi : Minggu, 23 Maret 2008 , Hal.VIII
Aku berada pada suatu sudut Di mana aku harus memilih Di antara warna-warna dunia Dalam sebuah fase kegelapan Tak ada yang mampu melihat bintang Di situlah aku menemukan kesunyian Dan hatiku mulai bicara Cakrawala menghampiriku lewat sinarnya Dan memberiku suatu harapan Harapan datang menghampiriku Namun ku tak tahu Apa yang harus kulakukan Kebingungan yang aku dapat Akan aku akhiri Suatu tanya yang tak terjawab - Natasya Alviana Prasetyo, Kelas I, Singapore Piaget Academy Solo Raya. |
rantaikata : http://www.solopos.net |
hidup | untuk semuanya |
Edisi : Minggu, 23 Maret 2008 , Hal.VIII
Dan seseorang tahu arti akan hidup
Bila mereka mengerti dan menafsirkan
isi dalam hati
Rasa gelisah, takut dan kesombongan
Akan lenyap bila ada sebuah lentera
Karena lenteralah sebagai penerang bagi mereka
Tak apalah bila kacanya tak sebening mutiara
Minyaknya tak sebagus minyak zaitun
Mungkin kita harus bersyukur
Akan lentera tersebut
Karena cahayanya tak pernah gagal
Dalam menembus kegelapan
Selama ia masih menyala
- Nur Amalia Yasmin, MA Al Islam Jamsaren, Jl Veteran No 263, Solo.
rantaikata : http://www.solopos.net
Dan seseorang tahu arti akan hidup
Bila mereka mengerti dan menafsirkan
isi dalam hati
Rasa gelisah, takut dan kesombongan
Akan lenyap bila ada sebuah lentera
Karena lenteralah sebagai penerang bagi mereka
Tak apalah bila kacanya tak sebening mutiara
Minyaknya tak sebagus minyak zaitun
Mungkin kita harus bersyukur
Akan lentera tersebut
Karena cahayanya tak pernah gagal
Dalam menembus kegelapan
Selama ia masih menyala
- Nur Amalia Yasmin, MA Al Islam Jamsaren, Jl Veteran No 263, Solo.
rantaikata : http://www.solopos.net
pecundang sejati | untuk semuanya |
Edisi : Minggu, 30 Maret 2008 , Hal.VIII
Semestinya
Kurelakan kepergianmu
Seharusnya
Kubuang jauh-jauh dirimu
Dari benakku
Tapi mengapa
Berat sekali rasa ini
Tuk lupakan dirimu
Padahal
Kau tak hiraukan aku
Hanya seonggok kata olehmu
Yang begitu melukaiku
Kini...
Rasa yang kian kupendam
Terbuang sia-sia
- Sholikah, Kelas IX A SMP Negeri 1 Banyudono, Boyolali.
rantaikata : http://www.solopos.net
Semestinya
Kurelakan kepergianmu
Seharusnya
Kubuang jauh-jauh dirimu
Dari benakku
Tapi mengapa
Berat sekali rasa ini
Tuk lupakan dirimu
Padahal
Kau tak hiraukan aku
Hanya seonggok kata olehmu
Yang begitu melukaiku
Kini...
Rasa yang kian kupendam
Terbuang sia-sia
- Sholikah, Kelas IX A SMP Negeri 1 Banyudono, Boyolali.
rantaikata : http://www.solopos.net
pagiku murung | untuk semuanya |
Edisi : Minggu, 30 Maret 2008 , Hal.VIII
rantaikata : http://www.solopos.net
Pagiku turut murung bunda Ketika irama suaramu hentakkan rumah sejagad Hingga indahnya mimpi terputus tanpa bersambung Dan nyamuk pingsan di tempat serangan jantung Kenapa bukan seduh hangat senyum yang tersuguh Tapi tak pernah ku putus doa Di mana suatu fajar Renyah tawa menggelantung bersama burung camar - Ika Prihatin Yuliana, Tegalsari, Gayamdompo, Karanganyar. |
sajaksajak budhi wiryawan | untuk semuanya |
Edisi : Minggu, 16 Maret 2008 , Hal.V
temani aku menari di rumput basah,
wahai kaki padi
salsa dalam hentak kaki kuda,
gairah di pucuk cemara
yang limbung di pembaringan anak-anak sembrani
rindukan golek menak,
saat pendapa sepi tanpa wiyaga
ribuan tahun ketika bunyi dilantunkan
di sayap mega
petir membagikan laras, menelusup
di ladang-ladang petani
bunyi-bunyi yang menguliti bulu lembut
tangan kita
biarkan menari di atas bilah-bilah perunggu
yang terkulai
jangan salahkan anak kita,
jika mereka berbagi peta
karena desir suaranya telah dihantam badai
akhirnya menepi di pantai tak berpenghuni
Diamku tembaga
aku menjemur gigi di panggang sate
cokelat tembaga seperti gigi rahwana
saat kelelawar muntahkan ingusnya
jatuh persis di ujung lidahku, mulutku kulepas
pahit kulit brotowali terasa bagai upas
sejak kubelajar diam, menahan ngilu, gusar
yang menggerogoti pojok hati ini terbayar
runduk pada gejolak kalbu,
musim mengoyak waktu
arlojiku lepas di dasar laut, kau pun tak mampu
menenggelamkan amarah singa di balik bajuku
yang basah dan menguning seperti cendawan layu
kesungguhanku menahan diam,
adalah samudra rebus
yang menelanjangi semua sirip ikan,
tersudut di batas cahaya,
redup melukai kepongahan kepompong talas
yang gagal mendaur ulat ke kebun buah,
daun meranggas
diamku tembaga, sepuhan fosil tulang belulang
melompat dari kejauhan, menuju bukit yang lekang
*) Budhi Wiryawan, pernah bergiat di Teater Laskar, Sanggar Kereta, Paguyuban Teater Bantul, dan Forum Komunikasi Teater Bantul. Tinggal di Bantul
rantaikata : http://solopos.net
|
Slendro |
wahai kaki padi
salsa dalam hentak kaki kuda,
gairah di pucuk cemara
yang limbung di pembaringan anak-anak sembrani
rindukan golek menak,
saat pendapa sepi tanpa wiyaga
ribuan tahun ketika bunyi dilantunkan
di sayap mega
petir membagikan laras, menelusup
di ladang-ladang petani
bunyi-bunyi yang menguliti bulu lembut
tangan kita
biarkan menari di atas bilah-bilah perunggu
yang terkulai
jangan salahkan anak kita,
jika mereka berbagi peta
karena desir suaranya telah dihantam badai
akhirnya menepi di pantai tak berpenghuni
Diamku tembaga
aku menjemur gigi di panggang sate
cokelat tembaga seperti gigi rahwana
saat kelelawar muntahkan ingusnya
jatuh persis di ujung lidahku, mulutku kulepas
pahit kulit brotowali terasa bagai upas
sejak kubelajar diam, menahan ngilu, gusar
yang menggerogoti pojok hati ini terbayar
runduk pada gejolak kalbu,
musim mengoyak waktu
arlojiku lepas di dasar laut, kau pun tak mampu
menenggelamkan amarah singa di balik bajuku
yang basah dan menguning seperti cendawan layu
kesungguhanku menahan diam,
adalah samudra rebus
yang menelanjangi semua sirip ikan,
tersudut di batas cahaya,
redup melukai kepongahan kepompong talas
yang gagal mendaur ulat ke kebun buah,
daun meranggas
diamku tembaga, sepuhan fosil tulang belulang
melompat dari kejauhan, menuju bukit yang lekang
*) Budhi Wiryawan, pernah bergiat di Teater Laskar, Sanggar Kereta, Paguyuban Teater Bantul, dan Forum Komunikasi Teater Bantul. Tinggal di Bantul
rantaikata : http://solopos.net
cerita hari | untuk semuanya |
Edisi : Minggu, 16 Maret 2008 , Hal.VIII
rantaikata : http://solopos.net
|
Lilin kecil tlah rapuh dalam lugunya Dingin pun benar remukan jiwa Hari para pemuka yang seakan mati Membuatku mengerti jelaga ini |
Akerat dan keringat sang hati Tak mampu puaskan hati Jurang haru pertiwi pun bergejolak Suara nestapa makin berteriak Dengarkan kami pangeran berdasi Tidakkah cukup kau tertawa di sana Penuh basah dengan hujan udara Dan betapakah kami... Terjerambab di lumpur malam Inikah bahagiamu... Inikah duniamu... Di selayak adanya hari bercerita Anastasia Rahardini P, SMA Negeri 5 Solo |
rantaikata : http://solopos.net
derita seorang tunawisma | untuk semuanya |
Edisi : Minggu, 16 Maret 2008 , Hal.VIII
|
Ketika malam datang Gundah terasa di hatimu Mencari tempat berlindung Berteduh melepas lelah |
Serasa derita tak habis bagimu Ketika sang surya datang Makian orang membangunkanmu Menghinamu, melecehkanmu Baju compang-camping Melekat di tubuhmu Menjadi saksi Betapa beratnya hidupmu Membanting tulang sekuat hati Tak kenal lelah Hiraukan cacian orang Demi seteguk air dan sesuap nasi Siti Solikhatun, kelas 8E, SMP Negeri 1 Delanggu, Jl Pabrik Karung Delanggu Baru, Klaten. rantaikata : http://solopos.net |
sajaksajak sunardi ks | untuk semuanya |
Edisi : Minggu, 09 Maret 2008 , Hal.V
Kerbau berpidato dengan sesamanya |
|
kalau bangsa kerbau diklaim sebagai makhluk paling bodoh apa urusan kita dengan manusia bodoh atau pintar tak pernah merepotkan untuk belajar dan justru dengan kebodohan kita bisa selamat dari jeratan dosa-dosa kalau kita makan tanaman orang lain itu semata-mata ketidaktahuan apakah kita harus dihukum rejam sampai mati justru bangsa manusia sendiri yang merugi karena tak memiliki pelajaran yang amat berharga ini |
Ulat-ulat yang jenuh dengan kerakusannya ulat-ulat yang menggerogoti dedaunan hingga pohon-pohon meranggas kini telah jenuh dengan kerakusannya pasrah menjelma kepompong bergelantung di ujung-ujung reranting kering dipermainkan angin kemarau tak berdaya tetapi dari kepasrahannya waktu telah menjelmakan kupu kini beterbangan kian kemari (kemerdekakan tak begitu saja mudah ditemukan ulat-ulat telah belajar dari angin yang melintas kepompong telah bejalar dari keprihatinannya kupu-kupu telah belajar tentang kehidupan ) Rayap-rayap sedang berdialog dengan spesiesnya karena kita tergolong binatang kecil dan tak pernah dibicarakan memiliki kegunaan apa-apa maka jangan terlalu banyak tingkah kepada manusia kalau di antara kita sedang merasa lapar atau tak senang makan saja sekenyang-kenyangnya. tetapi jangan lupa masing-masing menjaga peranan lentor sebagai raja diraja agar tetap selamat dan lestari supaya lentor tak menyalahi kodratnya tetapi kami masih bisa berbangga sebab selalu berumah ke bawah makan ke atas *) Sunardi KS, tulisan-tulisannya pernah dimuat di berbagai media cetak, berupa sajak, Cerpen, dan artikel-artikel budaya dan keluarga. rantaikata : http://solopos.net |
Hanya Sebatas Angan | untuk semuanya |
Edisi : Minggu, 09 Maret 2008 , Hal.VIII
rantaikata : http://solopos.net
|
Saat hati peluh rindu Sebersit ingatku hadirkan rasa semu Rasa yang kubangun Di atas angin lalu |
Kalbuku Dendangkan segenap rindu Bergema di irama merdu Masih inginku ditemanimu Masih terbesit khayalku cintamu Untukmu... Pastilah bukan untukku Tapi tak ada inginku menuntut Semua tak perlu tercapai Tetaplah terjaga seperti sekarang Biarkan cintaku hanya bersemi sebatas angan Ririn Crisnandari SMA 1 Sukoharjo, jl Pemuda No. 38, Sukoharjo |
rantaikata : http://solopos.net
pada masa kehidupan | untuk semuanya |
Edisi : Minggu, 09 Maret 2008 , Hal.VIII
rantaikata : http://solopos.net
|
Mataku memandang keluar Pikiranku mulai melayang Terbang di atas bayang-bayang Bayangan kehidupan Yang bila dirasa akan menyakitkan |
Kurasakan... Kurenungkan... Kupikirkan... Seribu malam perasaan Apakah semua itu? Sungguh sulit bagiku Sungguh... Kebingungan meliputi diri ini Kuingin menyerah sekarang Kuinginkan ketenangan dan kebebasan Tapi... Bila kuingat lagi dan lagi Ada impian dan ada sesuatu yang harus kulakukan Kuhanya mampu pasrah dan berharap Terhadap uluran tangan-Nya - Je Vonny Siswanti, Secondary 3/SMP Kelas 3, Singapore Piaget Academy. |
rantaikata : http://solopos.net
No comments:
Post a Comment
Silakan beri komentar Anda. No Spam No Ads. Thanks.