Antologi Puisi Pendhapa 14: Requiem Bagi Rocker
Hadir dalam pertemuan para penyair dan menyaksikan perform baca puisi
sangat menarik bagiku. Ada rasa kepuasan tersendiri dalam menikmati aura
puisi yang hidup. Hidup sebab ada suara. Hidup sebab diintonasikan
oleh sipembuatnya. Dengan berbagai macam gaya dan ciri khas
masing-masing. Dengan atau tanpa bantuan alam pengiring dalam hal ini
instrument musik. Keyboard, biola, laptop, suara mulut yang disuarakan
seperti alat musik layaknya bahkan musik dari handphone-pun jadi
pengiring yang manis.
Sabtu malam, 21 April 2012
Orang berdatangan. Mengumpul dalam Teater Arena, Taman Budaya Jawa
Tengah (TBJT) Solo. Mereka adalah orang-orang hebat menurutku. Tahulah
saya selalu suka seorang penyair yang benar-benar intens akan dunia sunyinya.
Mereka dari lintas generasi yang berbeda dan dari latar belakang yang
berlainan pula. Namun spirit mereka dalam sastra khusus puisi sangat
besar. Para generasi tua seangkatan pak Murtidjono atau kawan-kawan
beliau hadir mencurahkan rasa kerinduan akan sosoknya. Generasi muda
baik yang sudah banyak makan garam maupun pemula juga turut hadir
menyaksikan ruh spirit mendiang pak Murtidjono. Semangat kebebasan berekspresi.
Dari berbagai daerah Indonesia, Medan, Pati, Cilacap, Tegal,
Purwokerto, Semarang Magelang, Jogjakarta, Solo, Ngawi, Surabaya, bahkan
dari pulau Celebes (Sulawesi) pun hadir. Sungguh semangat yang berapi.
Acara "Panggung Sastra Indonesia: Murtidjono, Chairil Anwar, dan Kebebasan Ekspresi" dengan tema " Ruang Ekspresi dan Elan Kreatif" sukses besar. Panggung Sastra bertajuk Requiem bagi Rocker ini diselenggarakan TBJT bersama dengan Forum Sastra Surakarta, Sabtu (21/4), bertepatan dengan Hari Kartini dan 100 hari memperingati Murtidjono. Koordinator Sastra TBJT, Wijang Warek J Riyanto berharap, selain memperkaya khasanah sastra Indonesia, peluncuran buku ini diharapkan menjadi sebuah ziarah dan “doa” mereka untuk Chairil Anwar dan Murtidjono.
Ada 128 puisi para penyair berbagai daerah yang termuat dalam antologi itu. Salah satunya puisi saya berjudul Rindu Tak Bertepi. Sebenarnya saya ingin Merapu Sunyi yang dimuat.
Hadir keluarga mendiang pak Murti. Pak Murtidjono bukan lagi milik pribadi, bukan lagi milik keluarga yang ditinggalkan. Beliau telah menjadi milik publik. Milik kita para penyair dan masyarakat. Bagaimana para penyair hadir mengapresiasi spirit pak Murti. Inilah keterikatan yang indah.
Kemudian acara pembacaan puisi yang sangat berkesan adalah ketika
sepasang penyair. Dengan diiringi biola yang mendayu membuat ikut larut
kedalam. Dan si penyair perempuan tuntas membacakan teks-teks puisi
dengan sangat sempurna. Saya suka. Namun ada satu penyair yang bikin
semua tertawa dan tergelitik, Syam Chandra Manthiek. Gaduh ramai. Puisi
berjudul Hendonesyah sukses menyedot api suara dari para
hadirin. Di sela-sela ia membaca puisinya ia melemparkan uang kearah
penonton. Hahaha.. Semua tertawa. Uang kertas berwarna hijau, biru dan
merah segera lenyap diterkam para macan-macan lapar. Saya menyesal
tidak duduk dideretan depan. Barangkali ini penyair yang paling
diminati.
Tampil penyair dari Pati dengan diiringi musik dari laptop. Saya suka musiknya. Apakah itu dari Fruity Loops? Saya benar suka musik semacam itu. Ambient, abstrak menusuk kepalaku. Tampil pula rombongan penyair dari Tegal dengan grup Musik Sastra Warung Tegal. Ada juga Asah Manah, dan Surau Kami.
Acara sampai larut malam. Jam dua belas malam saya beringsut pulang.
Meningglkan pertunjukkan yang luar biasa. Ekspetasinya begitu besar. Ini
adalah lompatan bagi para penyair yang puisinya termuat dalam antologi
itu. Dan rasanya sangat lebih berkesan apabila membacakan puisinya.
Sayang saya tidak ada kesempatan untuk menyuarakan teks-teks saya. Namun
saya maklum, mereka lebih bagus dan pantas membacakan puisinya pada
malam itu.
Minggu pagi jam sembilan, 22 April 2012
Acara ziarah sastra ke makam Murtidjono dengan 3 rombongan mobil di
Karangpandan. Depan pasar Karangpandan samping gereja. Meski ragamu
telah tiada, namun spiritmu tetap hadir dalam hati kami, pak Murti.
Sehabis ziarah, saya sempatkan ikut menyimak diskusi tentang seni.
Berbagai persoalan dalam dunia seni disampaikan. Ada kelompok Sahita
yang saya sendiri kurang tahu keberadaannya. Tapi rasanya pernah
mendengarnya. Ada juga kelompok Wayang Kampung Sebelah pimpinan Jlitheng Suparman yang terkenal di Solo. Thompson Hs juga menjelaskan sejarah Opera Batak. Timbul tenggelamnya Opera Batak dan lainnya. Saya tidak pintar dalam hal mengingat.
Bermacam persoalan dalam dunia seni. Proses kreatif dan ketersampaiannya pesan-pesan moral dan sosial dalam masyarakat. Bagaimana dunia seni bisa menghidupi perut sendiri dan keluarga. Punahnya seni pertunjukan Opera Batak. Sejarah dan masalah diulas. Apa itu kelompok Sahita, bengkel kreatif teater, dan Wayang Kampung Sebelah.
Sungguh acara yang sangat menarik. Sungguh pengalaman yang berharga.
Link media: Solopos dan Timlo.net
http://serampaikata.blogspot.com/2012/04/antologi-puisi-pendhapa-14-requiem-bagi.html
No comments:
Post a Comment
Silakan beri komentar Anda. No Spam No Ads. Thanks.