Edisi : Minggu, 15 Juni 2008 , Hal.V
Pertanyaan yang muncul adalah apakah kritik sastra di Indonesia ini telah menemukan bentuk dan semangatnya? Rahmat Djoko Pradopo (1984) dalam disertasinya Kritik Sastra Indonesia Modern telah memaparkan sejarah kritik sastra di Indonesia. Pradopo dalam mengategorikan kritik berpegang pada teori romantik yang dikenalkan M H Abrams. Akhirnya, model ini banyak diikuti kritikus di Indonesia, khususnya aliran akademis hingga saat ini. Jika melihat beberapa tulisan dari Budi Darma (1995), persoalan yang muncul adalah apakah paradigma tersebut masih relevan jika dikembangkan di dunia akademis kita? Apakah paradigma yang dianut oleh dunia akademis kritik sastra kita saat ini sudah sesuai dengan bentuk dan Zeitgeist-nya. Buku Ignas Kleden (2004), Sastra Indonesia Dalam Enam Pertanyaan, menurut saya merupakan contoh kritik sastra terapan yang sangat bagus yang sadar paradigma.
Kritik membutuhkan teori dan teori sesungguhnya hanya berperan sebagai alat bantu saja, tidak lebih dan tidak kurang. Kemenangan kaum fenomenologi pada kritik sastra ikut memengaruhi selera estetik hingga berdampak pada sistem penilaian, yakni apakah sastra (karya sastra) itu bernilai estetik atau tidak. Jika kita mengikuti pemahaman tradisi hermeneutik modern dan fenomenologis, peran penafsir, pembaca, dan juga kritikus bergerak dari sifat obyektif menuju posisi intersubyektif kemudian menjadi subyektif lagi. Kondisi ini menimbulkan satu pertanyaan bagi kita semua yakni, bagaimanakah posisi teori sastra itu sendiri?
Keberadaan teori sastra menjadi kabur, kaku, dan sebagai hakim yang menentukan bernilai estetik atau tidaknya suatu karya. Teori sastra menjadi ”dewa” dalam memberi pengadilan pada karya. Kondisi ini telah melupakan dan mengasingkan hakikat kehadiran karya itu sendiri. Kondisi ini menyebabkan teori sastra sebagai ”alat mekanik” atau ”estetik mesin”. Melihat inter-relasi hadirnya karya, muncul tiga konsep yang berinteraksi dalam satu lingkaran yakni karya, pembaca, dan pengarang. Ketiga komponen tersebut merupakan satu dialog. Pemisahan terhadap komponen yang satu dengan yang lain merupakan ciri kritik sastra kita yang menurut sudah tidak relevan. Namun, amat bermasalah jika menggabungkan antarkedudukan komponen tersebut tanpa mempertimbangkan konsep-konsep teori yang tentu saja mengandungi paradigma yang berbeda. Hal ini menurut saya akan menghasilkan kritik gado-gado yang kehilangan selera dan rasa. Tapi, mengapa kita masih mengikuti tradisi itu?
Jika melihat perkembangan dalam dunia kritik sastra, kita mengenal konsep formalisme, strukturalisme, Marxis, pasca-Marxis, dan pascastrukturalisme, termasuk pascamodern. Kaum formalis membatasi kritik pada level tekstual dan teknik-metodelogis. Strukturalisme ternyata telah melakukan pembunuhan terhadap subyek dalam menerapkan kritiknya. Pascastruktural hanya menjadikan kritik sebagai wacana, reproduksi makna, melakukan decentering terhadap logosentris, dekontruksi terhadap struktur, dan melakukan strukturasi sehingga melakukan penngrusakan struktur dan melampaui struktur itu sendiri. Pasca-Marxis berusaha membangkitkan subyek yang terbunuh oleh struktrualisme dalam relasi kelas dalam mana subyek tersebut dijadikan sebagai penyalur berbagai subyek imajiner dalam pembangunan suatu wacana.
Semua kritik sastra yang bersumber pada teori sastra tersebut gagal menjawab hubungan inter-relasi pada hakikat kehadiran atau terciptanya satu karya seni (sastra). Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana mengatasi kegagalan tersebut?
Pertanyaan yang belum mampu dijawab oleh kritik sastra dan teori sastra kita itu masih ditambah dengan perkembangan selera dan ekspresi manusia dalam bersastra yang mencapai taraf ketidakpercayaan, permainan, dan kehausan. Kritik yang berkembang pada periode selanjutnya adalah ”studi”. Embrio tersebut sesungguhnya telah ada dalam studi lanjut bidang ilmu sastra, yakni Studi Sastra Banding. Perkembangan tersebut direspons dengan muncul kritik sastra yang bernama ”Kajian Budaya”. Istilah kajian budaya atau culture studies ini merupakan istilah yang rumit dan kompleks. Kajian ini (kritik) berbeda dengan kajian sastra Pasca-Marxis. Tujuan dari pendekatan ini tidak lain untuk mengungkapkan kompleksitas inter-relasi hadirnya obyek karya dengan proses yang berlangsung dalam pengkonstruksian nilai estetik suatu karya. Pendekatan ini akhirnya jatuh pada pembuktian konstruktif dari teori sastra dan kritik sastra sebelumnya. Inilah kegagalan kajian budaya dan mengapa kajian budaya terus digunakan?
Melani Budianta (2002) menyebutkan istilah kunci untuk kajian (sastra). Pertama, genealogi atau sejarah asal-muasal yang menelusuri teori-teori budaya dari Mathew Arnold hingga teori pascamodern. Kedua, aneka ragam kajian budaya kontemporer dengan teori dan pendekatan yang berbeda. Ketiga, sejumlah konotasi tentang agenda dan orientasi sekelompok ilmuwan yang tidak dibahas secara koheren dan eksplisit.
Kritik sastra yang berpedoman pada kajian budaya tersebut pada akhirnya jatuh pada pembuktian konstruksi estetik semata. Paradigma yang terakhir dalam dunia kritik sastra atau teori sastra sejak zaman romantik Inggris, formalis, strukturalisme, hermeutik, pasca-Marxis, pascastrukturalis, pascamodern dan culture studies atau dari abad XX hingga XXI telah menunjukkan kelemahan dan kegagalan dalam mendekati dan membaca karya sastra.
Pendekatan kritis menawarkan satu teori sastra yang membongkar wacana kritik itu sendiri. Menurutnya, kritik sastra adalah konstruksi dari bagian dalam pembentukan subyek dan realitas sehingga terlibat pada kepentingan tertentu, baik politik dan ekonomi. Kritik sastra, teori sastra dan sejarah sastra harus mengenali dan mengakui subyektivitasnya sendiri. Obyektivitas dalam bentuk apapun tidak akan tercapai dalam inter-relasi kehadiran karya itu sendiri.
Ilmu sastra yang meliputi teori, kritik, sejarah dan sastra bandingan sesungguhnya harus melepaskan dirinya dari strukturisasi dan konstruksi. Ilmu sastra harus mengambil posisi bersifat murni dan kritis terhadap kekuatan hegemonik yang dihadapi.
Keadaan ini seharusnya diperhatikan untuk peneliti, pembelajar dan pengajar atau profesor sastra dan linguistik/bahasa untuk direnungkan kembali kekuatan hegemonik apa yang berada dan bersembunyi di balik ilmu yang mereka agung-agungkan dan mereka pelajari serta ajarkan. Jika tidak, betapa mereka yang telah menjadi budak yang bodoh dan tukang yang tak bernama, selayaknya kita merenungkan satu pernyataan dari Spivak berikut ini: ”Tanpa menghadapkan pandangan kita ke Barat, kita tidak mungkin menjadi seorang intelektual”. Wahai para pakar sastra, apakah demikian adanya?
- *) Dwi Susanto, mahasiswa Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS.
rantaikata : solopos.net
Pertanyaan yang muncul adalah apakah kritik sastra di Indonesia ini telah menemukan bentuk dan semangatnya? Rahmat Djoko Pradopo (1984) dalam disertasinya Kritik Sastra Indonesia Modern telah memaparkan sejarah kritik sastra di Indonesia. Pradopo dalam mengategorikan kritik berpegang pada teori romantik yang dikenalkan M H Abrams. Akhirnya, model ini banyak diikuti kritikus di Indonesia, khususnya aliran akademis hingga saat ini. Jika melihat beberapa tulisan dari Budi Darma (1995), persoalan yang muncul adalah apakah paradigma tersebut masih relevan jika dikembangkan di dunia akademis kita? Apakah paradigma yang dianut oleh dunia akademis kritik sastra kita saat ini sudah sesuai dengan bentuk dan Zeitgeist-nya. Buku Ignas Kleden (2004), Sastra Indonesia Dalam Enam Pertanyaan, menurut saya merupakan contoh kritik sastra terapan yang sangat bagus yang sadar paradigma.
Kritik membutuhkan teori dan teori sesungguhnya hanya berperan sebagai alat bantu saja, tidak lebih dan tidak kurang. Kemenangan kaum fenomenologi pada kritik sastra ikut memengaruhi selera estetik hingga berdampak pada sistem penilaian, yakni apakah sastra (karya sastra) itu bernilai estetik atau tidak. Jika kita mengikuti pemahaman tradisi hermeneutik modern dan fenomenologis, peran penafsir, pembaca, dan juga kritikus bergerak dari sifat obyektif menuju posisi intersubyektif kemudian menjadi subyektif lagi. Kondisi ini menimbulkan satu pertanyaan bagi kita semua yakni, bagaimanakah posisi teori sastra itu sendiri?
Keberadaan teori sastra menjadi kabur, kaku, dan sebagai hakim yang menentukan bernilai estetik atau tidaknya suatu karya. Teori sastra menjadi ”dewa” dalam memberi pengadilan pada karya. Kondisi ini telah melupakan dan mengasingkan hakikat kehadiran karya itu sendiri. Kondisi ini menyebabkan teori sastra sebagai ”alat mekanik” atau ”estetik mesin”. Melihat inter-relasi hadirnya karya, muncul tiga konsep yang berinteraksi dalam satu lingkaran yakni karya, pembaca, dan pengarang. Ketiga komponen tersebut merupakan satu dialog. Pemisahan terhadap komponen yang satu dengan yang lain merupakan ciri kritik sastra kita yang menurut sudah tidak relevan. Namun, amat bermasalah jika menggabungkan antarkedudukan komponen tersebut tanpa mempertimbangkan konsep-konsep teori yang tentu saja mengandungi paradigma yang berbeda. Hal ini menurut saya akan menghasilkan kritik gado-gado yang kehilangan selera dan rasa. Tapi, mengapa kita masih mengikuti tradisi itu?
Jika melihat perkembangan dalam dunia kritik sastra, kita mengenal konsep formalisme, strukturalisme, Marxis, pasca-Marxis, dan pascastrukturalisme, termasuk pascamodern. Kaum formalis membatasi kritik pada level tekstual dan teknik-metodelogis. Strukturalisme ternyata telah melakukan pembunuhan terhadap subyek dalam menerapkan kritiknya. Pascastruktural hanya menjadikan kritik sebagai wacana, reproduksi makna, melakukan decentering terhadap logosentris, dekontruksi terhadap struktur, dan melakukan strukturasi sehingga melakukan penngrusakan struktur dan melampaui struktur itu sendiri. Pasca-Marxis berusaha membangkitkan subyek yang terbunuh oleh struktrualisme dalam relasi kelas dalam mana subyek tersebut dijadikan sebagai penyalur berbagai subyek imajiner dalam pembangunan suatu wacana.
Semua kritik sastra yang bersumber pada teori sastra tersebut gagal menjawab hubungan inter-relasi pada hakikat kehadiran atau terciptanya satu karya seni (sastra). Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana mengatasi kegagalan tersebut?
Pertanyaan yang belum mampu dijawab oleh kritik sastra dan teori sastra kita itu masih ditambah dengan perkembangan selera dan ekspresi manusia dalam bersastra yang mencapai taraf ketidakpercayaan, permainan, dan kehausan. Kritik yang berkembang pada periode selanjutnya adalah ”studi”. Embrio tersebut sesungguhnya telah ada dalam studi lanjut bidang ilmu sastra, yakni Studi Sastra Banding. Perkembangan tersebut direspons dengan muncul kritik sastra yang bernama ”Kajian Budaya”. Istilah kajian budaya atau culture studies ini merupakan istilah yang rumit dan kompleks. Kajian ini (kritik) berbeda dengan kajian sastra Pasca-Marxis. Tujuan dari pendekatan ini tidak lain untuk mengungkapkan kompleksitas inter-relasi hadirnya obyek karya dengan proses yang berlangsung dalam pengkonstruksian nilai estetik suatu karya. Pendekatan ini akhirnya jatuh pada pembuktian konstruktif dari teori sastra dan kritik sastra sebelumnya. Inilah kegagalan kajian budaya dan mengapa kajian budaya terus digunakan?
Melani Budianta (2002) menyebutkan istilah kunci untuk kajian (sastra). Pertama, genealogi atau sejarah asal-muasal yang menelusuri teori-teori budaya dari Mathew Arnold hingga teori pascamodern. Kedua, aneka ragam kajian budaya kontemporer dengan teori dan pendekatan yang berbeda. Ketiga, sejumlah konotasi tentang agenda dan orientasi sekelompok ilmuwan yang tidak dibahas secara koheren dan eksplisit.
Kritik sastra yang berpedoman pada kajian budaya tersebut pada akhirnya jatuh pada pembuktian konstruksi estetik semata. Paradigma yang terakhir dalam dunia kritik sastra atau teori sastra sejak zaman romantik Inggris, formalis, strukturalisme, hermeutik, pasca-Marxis, pascastrukturalis, pascamodern dan culture studies atau dari abad XX hingga XXI telah menunjukkan kelemahan dan kegagalan dalam mendekati dan membaca karya sastra.
Pendekatan kritis menawarkan satu teori sastra yang membongkar wacana kritik itu sendiri. Menurutnya, kritik sastra adalah konstruksi dari bagian dalam pembentukan subyek dan realitas sehingga terlibat pada kepentingan tertentu, baik politik dan ekonomi. Kritik sastra, teori sastra dan sejarah sastra harus mengenali dan mengakui subyektivitasnya sendiri. Obyektivitas dalam bentuk apapun tidak akan tercapai dalam inter-relasi kehadiran karya itu sendiri.
Ilmu sastra yang meliputi teori, kritik, sejarah dan sastra bandingan sesungguhnya harus melepaskan dirinya dari strukturisasi dan konstruksi. Ilmu sastra harus mengambil posisi bersifat murni dan kritis terhadap kekuatan hegemonik yang dihadapi.
Keadaan ini seharusnya diperhatikan untuk peneliti, pembelajar dan pengajar atau profesor sastra dan linguistik/bahasa untuk direnungkan kembali kekuatan hegemonik apa yang berada dan bersembunyi di balik ilmu yang mereka agung-agungkan dan mereka pelajari serta ajarkan. Jika tidak, betapa mereka yang telah menjadi budak yang bodoh dan tukang yang tak bernama, selayaknya kita merenungkan satu pernyataan dari Spivak berikut ini: ”Tanpa menghadapkan pandangan kita ke Barat, kita tidak mungkin menjadi seorang intelektual”. Wahai para pakar sastra, apakah demikian adanya?
- *) Dwi Susanto, mahasiswa Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS.
rantaikata : solopos.net
No comments:
Post a Comment
Silakan beri komentar Anda. No Spam No Ads. Thanks.